Jumat, 25 Februari 2011

Menjadi Mulia Tak Perlu Menunggu Kaya

Hari Ahad lalu saya sekeluarga berkesempatan menghadiri undangan masjid dekat rumah yang tengah mengadakan launching sebuah program zakat bekerjasama dengan Rumah Zakat Indonesia.
Kegiatan launching tersebut ditutup dengan ceramah yang disampaikan seorang ulama ternama di kota Bogor. Beliau adalah orang yang sangat menguasai dan sering berbicara mengenai zakat. Tentu ada banyak pelajaran berharga yang dapat diambil dari tuturan beliau. Salah satunya adalah ketika sang ulama berbagi cerita saat ia berceramah seputar zakat di sebuah daerah.
Sang ulama mengisahkan di tempat tersebut ada dua orang wanita yang tinggal serumah. Keduanya selalu menyisihkan sebagian harta yang dititipkan Allah pada mereka dengan cara berinfak. Hal ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Tetapi tunggu, ulama tersebut melanjutkan kisahnya. Siapakah kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu? Bagaimana kisah ini menjadi sebuah hal yang menarik perhatian yang hadir saat itu (khususnya saya)?
Ulama tersebut menyampaikan bahwa kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu bukanlah anak dan ibu atau kakak beradik. Lalu, siapakah gerangan mereka? Keduanya tak lain adalah seorang majikan dan pembantunya.
Tanpa diketahui oleh masing-masing, sang pembantu selalu menyisihkan rezeki yang diperoleh setiap kali menerima gaji, demikian pula dengan sang majikan. Secara logika kita pastinya berfikir bahwa penghasilan sang majikan lebih besar dari sang pembantu, maka infaknya pun tentu akan lebih besar.
Namun logika tak selalu sejalan dengan kenyataan, harta yang disisihkan sang pembantu setiap bulan untuk berinfaq ternyata lebih besar dari infaq sang majikan. Padahal ia memiliki banyak anak yang harus dinafkahi dengan penghasilannya yang pas-pasan itu. Meskipun demikian keadaannya, ia berhasil menghantarkan anak-anaknya sekolah hingga perguruan tinggi.
Hmmm... apa yang terpikirkan oleh kita setelah mengetahui hal di atas? Mungkin ada yang merasa heran dan terselip tanya, bagaimana dengan gaji tak lebih dari 500 ribu bisa menghidupi sebuah keluarga bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang yang tinggi?
Tentu saja bagi orang beriman yang mengakui bahwa hanya Allah yang berkuasa memberi rezeki, tak kan pernah heran atau terlontar tanya seperti demikian. Karena sudah jelas tercantum firman-Nya dalam Al-Quran:
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 261)
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka, dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid [57] : 18)
Demikianlah Allah telah menunjukkan salah satu contoh kekuasaan-Nya melalui kisah yang dituturkan sang ulama di atas sebagai sebuah pelajaran supaya cukuplah Allah tempat kita menyandarkan keyakinan sepenuhnya atas rezeki yang diberikan-Nya. Di samping itu kita tidak perlu merasa khawatir untuk bersedekah atau menginfakkan sebagian rezeki yang Allah titipkan tersebut karena janji Allah pastilah benar adanya. Kita pun tak perlu menunggu menjadi orang kaya untuk berbagi rezeki demi mendapatkan kemuliaan di hadapan-Nya. Sungguh, perilaku pembantu tersebut adalah suatu hal yang patut kita tiru.
Ada banyak cerita nyata yang senada dengan kisah tersebut di mana orang-orang yang dalam hitungan matematika kita berpenghasilan sangat minim dan diprediksikan tak kan sanggup memenuhi kebutuhan hidup, ternyata perkiraan tersebut tak dapat dibuktikan ketika orang-orang tersebut membelanjakan hartanya di jalan Allah. Akan selalu kita temukan kebenaran firman-Nya dalam kehidupan mereka.
Kembali pada kisah yang dituturkan sang ulama itu, kita pun dapat menemukan satu pelajaran lainnya, yakni untuk selalu menghormati sesama atau tidak meremehkan keadaan orang lain. Berbeda keadaan atau kedudukan dalam penilaian manusia tak mengurangi nilai kemuliaan seseorang di hadapan Allah SWT, seperti kisah berinfaknya dua orang wanita sebagai majikan dan pembantu tersebut. Karena kemuliaan seseorang di hadapan Allah bukanlah ia yang kaya, tampan atau cantik, memiliki sederet gelar dan atribut lainnya melainkan hanya satu saja, yakni yang paling takwa.
“.... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat [49] : 13)
www.ratnautami.com
Selengkapnya...

Ketika Para Suami Lupa Memikirkan Yang Satu Ini

“Aku sudah gak tahu lagi, rasa sedih sepertinya sudah lewat, hari ini mantan istriku menikah dengan eks kawan SD-nya, bayangin setelah gak ketemu selama 25 tahun lalu, mereka reuni gara-gara Facebook, hasilnya mereka berkencan, memadu kasih, dan akhirnya merencanakan hidup bersama, tanpa peduli bahwa mantan istriku sudah punya suami yang gantengnya kayak aku gini, wk wk wk... dan cerai akhirnya ku lemparkan dengan gembira pada istriku yang manis bermulut tipis,” demikian status yang panjang lebar di Facebook Andi membuat banyak kawan-kawannya geleng-geleng kepala.

Comment pun datang bergantian, ada yang bersimpati, menghujat ataupun nada bercanda tidak peduli. “Cari ajaa laggee..” demikian comment dari Sri Ningsih. “Dalam Islam ternyata istri yang selingkuh harus ditalak tiga, ya Ndi..?” comment dari Rita Rafida. “Selamat menempuh hidup baru sebagai duda,” comment dari mas Irvan geng duda miskin. Namun ada juga comment yang bersifat simpati seperti, “Innalillahi wa innailahi roji’un, kok sampai sebegituya yaa, sabar yaa mas, semoga mendapat ganti yang lebih baik,” komentarnya bu Imas.

Lalu, “sesungguhya lelaki yang baik akan mendapakan perempuan yang baik, lelaki yang jahat akan mendapat lelaki yang jahat, begitu janji Allah dalam Al qur’an surat An Nur ayat 30,” comment dari ustadz Iqbal, pesantren Darul Ihsan. “Tabah yaa...” dan banyak lagi ungkapan-ungkapan comment di Facebooknya Andi.

Hari-hari Andi yang masih nyeri, antara sakit karena dikhianati dan juga sakit karena harga dirinya sebagai lelaki seperti dinjak-injak dengan suksesnya, serta tidak diakui keberadaanya oleh sang istri maupun sang pacar istri.

Selama ini pernikahan mereka biasa-biasa saja, tak ada pertengkaran yang hebat yang mewarnai hari-hari mereka, tak ada bentakan ataupun KDRT dalam rumah tangga mereka yang manis dan harmonis.

Namun bila cinta datang tiba-tiba, dan setan pun memiliki pekerjaan yang paling besar yaitu menceraikan suami istri, maka dalam hal ini, Andi sebagai suami yang baik-baik saja, tidak mampu berkata apa-apa, dan masih terheran-heran kok bisa yaa istriku yang di rumah saja, dan yang selama ini manis-manis serta baik-baik saja, bisa bersikap khianat padaku.

Sebenarnya ada satu hal yang Andi lupa, bahwa istri yang baik-baik saja diam di rumah juga bukanlah berarti negara sudah aman. Seorang istri tetap memerlukan pujian, perhatian, keromantisan, dan juga sikap mengalah yang dapat membuat istri merasa tenang.

Diayomi dan dimanjakan, itulah yang dirasakan Rina, mantan istrinya Andi. Rina mendapatkan pujian yang menyanjung, perhatian dan tatapan yang dalam, juga sikap melindungi dari sang bekas teman SD nya itu, di mana hal-hal seperti itu sudah tidak pernah didapatkan lagi dari Andi, suami yang dinikahinya 10 tahun yang lalu dengan menghasilkan 2 anak.

Disamping Andi sebagai kepala keluarga haruslah memberikan masukan-masukan yang Islami, entah berupa pengajian atau membimbing istrinya untuk sholat malam, hal lain ternyata keruntuhan rumah tangga itu tidak hanya dari pihak suami saja, namun bisa datang dari pihak istri, dan untuk menjaga keutuhan rumah tangga itu harus dilakukan oleh kedua belah pihak dangan sungguh-sungguh dan dilakukan setiap hari tanpa henti.

Dan ada satu lagi yang sangat penting yang Andi sungguh lupa akan yang satu ini, yaitu menjaga diri dan keluarganya dari api neraka, dengan mengajak istrinya selalu beribadah serta juga memberikan hak istri untuk mendapatkan siraman rohani, bahkan ketika goncangan itu tiba, Andi pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena Andi merasa telah memberikan apapun pada istrinya.

Bagi Andi pujian, keromantisan dan lain-lain sudah cukup diberikan, namun Andi sekali lagi lupa akan yang satu ini, memberikan bekalan pengajian atau mengikutsertakan istrinya dalam kajian rutin buat para muslimah. Ingatlah akan peringatan Allah,

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahriim [66] : 6)
Sumber : Eramuslim
Selengkapnya...

Suami Dengan Tipikal Nabi

Dalam ta’lim bulanan di mesjid pada suatu hari, Pak Ustadz membahas masalah kewajiban dan hak seorang istri dalam rumah tangga. Beliau menyinggung ketika bagaimana suatu saat Nabi yang mulia pulang ke rumah (Siti Khodijah) kemalaman, dan Beliau tidak mengetuk pintu istri tercintanya, dengan alasan takut mengganggu.

Seketika saya langsung teringat, ketika suatu saat pasca melahirkan, saya baru tertidur hampir jam 11 malam. sementara suami belum pulang juga saat itu, sekitar jam 12 lewat bayi saya aha ehe minta mimi, saya lihat hp dengan tujuan hendak melihat jam, ternyata ada beberapa sms masuk yang isinya panjang lebar, ketika saya baca, diantaranya ;”....berarti nanti lagi, kita harus duplikat kunci, supaya kalau aa pulang malem, neng Geul ga usah bukain pintu,....sekarang sih ga apa aa tidur di luar, tapi barusan ada ronda lewat, takutnya kita disangka berantem......””
Membaca sms panjang, secara repleks, saya buka gordin untuk mengintip...dan masya Allah, suamiku tengah meringkuk di pinggir motor, dengan beralas jas hujan kalau tidak salah.
Saya bersyukur kepada Allah SWT dengan syukur yang tiada terhingga, ketika suatu saat mendengar seorang teman yang menceritakan suaminya tidak mau makan jika ia (teman saya) tidak memanaskan lauk pauknya terlebih dahulu, padahal suami teman saya itu pulang ke rumah lebih dahulu dari pada teman saya yang bekerja tersebut.
Saya bersyukur yang tiada terhingga, karena suami tercinta selalu membantu urusan rumah tangga setiap harinya. Dalam aktifitas di pagi hari, sementara saya sibuk menyiapkan sarapan dan makan siang untuk anak anak sambil menggendong bayi, suami saya turut serta terjun di dapur, bukan hanya sekedar berteriak; Bun, teh manis!!
Syukur yang tiada henti kepada Allah SWT yang telah memberikan suami yang akhlaq nya mendekati akhlaq nabi. Syukur tiada henti yang memberikan suami, yang didikannya hanya melalui sindiran halus saja, tidak melalui bentakan.Didikannya, hanya melalui kelemah lembutan, bukan kata kata kasar.
Pernah saya mendengar seorang umahat menceritakan suaminya yang berkomentar tentang dirinya, yang ”bagaimana penampilanku jika aku menggendong bayi dengan kain gendongan ya?”subhanallah, ternyata suami dendy seperti itu, ditengah kesibukan istrinya pun masih sempat berfikir seperti itu?
Saya selalu berfikir, berfikir, bahwa di dunia ini, hanya ada dua tipikal suami, sebagaimana halnya ada dua tipikal istri. Hanya pendapat lho. Ini bukan hasil riset yang kebenarannya absolut.
Tipikal suami yang pertama adalah, tipikal nabi, yang banyak toleransinya, sehingga tidak banyak menuntut terhadap istrinya, yang menyanbung tali sendalnya sendiri, yang menambal bajunya sendiri, yang membantu istrinya di dapur, memotong motong daging untuk istrinya.
Tipikal suami yang kedua adalah tipikal Ali bin Abi Tholib, seorang yang berani, tegas, andalan nabi dalam pertempuran, faqih dalam diennya karena dididik nabi dari kecil.
Tipikal suami yang pertama ini selalu berjodoh dengan tipikal istri Siti Aisyah, yang ceria, berani, luas ilmunya, memberi pengajaran kepada para shahabiyah, akan tetapi pencemburu.
Suami bertipikal Sayyidina Ali, sangat sepadan dengan istri yang mempunyai tipikal Siti Fatimah, yang lemah lembut, lagi agung, sangat sabar, karena selalu ditinggal Sayidina Ali berjihad, yang dengan sabar mengerjakan urusan rumah tangganya sendirian tanpa khodimat, yang suatu saat meminta kepada ayahandanya untuk diberikan khodimat, namun bukan khodimat yang didapat, tetapi nasihat berharga, yaitu nasihat untuk mengamalkan wirid yang dibacakan sebelum tidur.
Maha adil Allah yang memasang masangkan hambanya dengan benar, tiada salah, walaupun menikah dengan tiada proses pengenalan, penjajagan seperti keumuman orang banyak.
Maka, kepada teman temanku yang sedang menjalani proses penjajagan, atau ta’aruf, janganlah engkau mengulur ulur waktu menikah, jika engkau sudah ada calonnya, tsiqoh billah, karena Allah tidak akan salah dalam perencanaanya. Allah SWT lebih mengetahui kita, dari pada diri kita sendiri. Allah SWT lebih mengetahui yang terbaik untuk kita, dari pada diri kita sendiri.
Dia memberikan dan memasangkan kita dengan orang yang sekufu dengan kita. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nuur ayat 26;
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).....”
Maha Suci Allah, yang kepada Nyalah hamba memohon ampun atas ketidak sempurnaan dalam pengabdian kepada suami, semoga Ia senantiasa mendidik hamba setiap saat. (Yuyu Latifah)
Selengkapnya...

Kamis, 24 Februari 2011

Masalah Pernikahan dan cara Mengatasinya

Pernikahan adalah ikrar dua orang mempelai untuk hidup berpasangan, dalam agama islam, hidup berpasangan merupakan fitrah, bukan hanya manusia yang di-setting untuk hidup berpasangan, tetapi mahluk lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan pun di ciptakan Tuhan dengan berpasangan-pasangan. Seperti Firman Allah yang artinya ”Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah” (QS. Az Zariat: 49).
Akan tetapi tidak semua pasangan pernikahan yang lepas dari permasalahan, baik besar maupun yang terkecil sekalipun.untuk itu diperlukan tuntunan yang dapat menghindari dan mengatasi permasalahan dalam hidup berkeluarga.
Menikah adalah sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia normal. Menikah juga dipandang sakral oleh semua agama. Tetapi hidup berumah tangga itu  sendiri merupakan misteri dari kebahagiaan. Ada orang yang hidup dengan amat sangat sederhana, tetapi mereka merasakan kebahagiaan yang prima dalam kehidupan rumah tangganya. Sebaliknya ada orang yang memiliki kelengkapan fasilitas hidup, sandang pangan papan, hiburan, kendaraan, uang, perhiasan dan sebagainya, tetapi mereka tidak menemukan yang didambakan, sebaliknya, semua kelengkapan materi itu justru tak bermakna apa-apa. Dalam pandangan Islam pernikahan adalah suci, sunnah rasul dan Ibadah. Oleh karena itu setiap muslim seyogyanya menikah secara Islam, berumah tangga secara Islam dan hidup secara Islam. Perselisihan dalam rumah tangga, bahkan perceraian, adalah sesuatu yang manusiawi belaka, tetapi al Qur’an menganjurkan untuk selalu islah, memperbaiki diri, dan memilih jalan yang terbaik.

Problema Kehidupan Berkeluarga

Problema di seputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga berada di sekitar:
a.    Kesulitan memilih jodoh/kesulitan mengambil keputusan siapa calon suami/isteri;
b.    Ekonomi keluarga yang kurang tercukupi;
c.    Perbedaan watak, temperamen dan perbedaan kepribadian yang terlalu tajam antara suami isteri;
d.    Ketidak puasan dalam hubungan seksual;
e.    Kejenuhan rutinitas;
f.    Hubungan antar keluarga besar yang kurang baik;
g.    Ada orang ketiga, atau yang sekarang popular dengan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) selingkuh;
h.    Masalah Harta dan warisan;
i.    Menurunnya perhatian dari kedua belah pihak suami isteri;
j.    Dominasi dan interfensi orang tua/ mertua;
k.    Kesalah pahaman antara kedua belah pihak;
l.    Poligami;
m.    Perceraian.

Cara Mengatasi Masalah Pernikahan Melalui Konseling
Dari berbagai problem kerumah tangaan seperti tersebut diatas, maka konseling perkawinan menjadi relevan, yakni membantu agar client dapat menjalani kehidupan rumah tangga secar benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk mengingat atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.
Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan:
a.    Membantu pasangan perkawinan itu mecegah terjadinya/meletusnya problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
b.    Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
c.    Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.

Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan
Prinsip-prinsip dasar perkawinan Islam yang harus diketahui oleh setiap  muslim dapat dirumuskan sbb :
a.     Dalam memilih calon suami/istri, faktor agama dan akhlak calon pasangan harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa dan harta, sebagaimana diajarkan oleh rasul dalam hadisnya.

Artinya: “Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Artinya: “Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun.” (H.R. Ibnu Majah)

b.    Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah rasul bagi yang sudah mampu. Dalam kehidupan berumah tangga terkandung banyak sekali keutamaan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/istri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali padahal ekonomi belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib). Nabi bersabda:

Artinya: “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah, karena itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina) dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu).” (H.R. Bukhari Muslim)

Firman Allah;
Artinya: “Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Allah Maha luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an Nur: 32)

c.    Bahwa tingkatan ekonomi keluarga berhubungan dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (manajemen) dan berkah dari Allah SWT. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah sampai jenjang tinggi, sementara ada keluarga yang serba kecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkumpulnya kebaikan ilahiyyah pada seseorang/ keluarga/ masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam.

Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal. Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan.

Firman Allah:
Artinya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami akan siksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka.”  (QS. al A’raf: 96)

Al Hadis:
Artinya: “Allah menyayangi orang yang bekerja secara halal, membelanjakan hasil secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan) untuk kekurangan dan kebutuhannya (di waktu mendatang).” (H.R. Ibn. Najjar dari Aisyah)

d.    Suami istri bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya harus ada kesesuaian ukuran, kesesuain mode, asesoris dan pemeliharaan kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan istri harus bisa menjalankan fungsinya sebagai (1) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (2) pelindung dari panas dinginya kehidupan, dan (3) Kebanggaan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diperkecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya. Mengatasi perbedaan selera kecendrungan dan hidup antara suami istri, diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa yang dapat saya berikan bukan apa yang saya mau.

Firman Allah:
Artinya: “Mereka (istri-istrimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka.”  (QS. al Baqarah: 187)

Al Hadis:
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap istri.” (H.R. Turmuzi dari Aisyah)

e.    Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, anugerah Tuhan dan sering tidak rational. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, kesetiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan mendatang/ menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta. Hukama berkata:
“Tanda-tanda cita sejati ialah (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia dibanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri).” 

Firma Allah;
Artinya: “….Sekiranya engkau (Nabi) kasar dan keras hati (kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari dari sisimu.” (QS. Ali Imran: 159)

Al Hadis;
Artinya: “Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia, dan tidak sanggup menghina wanita kecuali lelaki yang tercela/ hina.”?

f.    Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk menyalurkan hasrat seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami istri (persetubuhan) merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah pihak. Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar, halal) itulah yang berkulitas, dan dapat mendatangkan ketentraman (sakinah). Oleh karena itu, masing-masing suami istri harus menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi dirinya, tetapi juga hak bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam Islam, hubungan seksual yang benar dan halal adalah ibadah.

Firman Allah:
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentraman kepadanya, dan dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar Rum: 21)

Artinya: “Nabi bersabda: Persetubuhan dengan istrimu itu memperoleh pahala. Para sahabat bertanya; Apakah orang yang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi menjawab: Tidakkah kalian tahu bahwa jika ia menyalurkan hasratnya di tempat yang haram, maka ia berdosa.?, Nah, demikian pula jika menyalurkan hasratnya kepada istrinya yang halal, maka ia memperoleh pahala.” (H.R. Muslim)

g.    Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami istri harus pandai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.

h.    Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi istri (other women/ man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu, atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/istri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus orang ketiga.

Artinya: “Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya).”

Artinya: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan abu Daud, dari Ibn Umar)

i.    Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua orang; suami dan istri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena itu suami/istri harus bisa berhubungan secara proposional dengan kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.

j.    Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan). Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk mengalihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati. Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain dalam pembagian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara rebutan/ perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak ridha.

Firman Allah;
Artinya: “Dan Janganlah  sebagian kamu memakan harta dari sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain) dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu).” (QS. al Baqarah: 188)

k.    Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami istri biasanya menjadi sangat intens.Keharmonisan hubungan antara suami istri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/ temperamen, kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Keharmonisan suami istri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk menuntut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesulitan yang dihadapi justru mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapi secara benar dan sabar. Istri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran nasehat suaminya, demikian juga sebaliknya.seperti Firman Allah dalam surah an Nisa ayat 19 sebagai berikut:

Artinya: “Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah engkau berikan kepada mereka, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”  (QS. an Nisa: 19)

Al Hadis:
Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali lelaki yang rendah (tercela) juga.”

l.    Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat, dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain: (1) Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya tanpa mengukur tanggung jawabnya; (2) Istri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami tetap konsentrasi dirumah; (3) Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki terdorong ingin menjadi dewa penolong; (4) Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan istri; (5) Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh istri/ keluarga sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan selanjutnya mencari kewibawaan di luar rumah; (6) Isteri tak berdaya menghadapi ke hendak suami atau sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.

Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot memelihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.

Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh tiga orang, yaitu:  (1) Oleh “raja”, dengan kekuasaannya ia dapat mengatur istri-istrinya; (2) Oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa memanaj keluarga besarnya; (3) Orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuatnya tak perduli dengan problem; (4) Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami istri, yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga istri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang dipikulnya. Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain yang menggugatnya. Misalnya; suami wajib memberi nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah, sebaliknya istri justru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh istri.

Ta’lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan bentuk perlindungan kepada istri dari kelalaian suami.

Jika suami/istri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada maka agama memberikan jalan keluar kepada pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: kembali bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.

Firman Allah;
Artinya: “Talak yang dapat dirujuk hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik (QS. al Baqarah: 229).”

Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak disukai Tuhan.

Al Hadis;
Artinya: “Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.”

Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam) dalam Al Qur’an Allah berfirman dalam surah an Nisa ayat 35.
Artinya: “Jika kamu khawatirkan terjadi persengketaan diantara keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang pendamai (pendamai) dari keluarga suami dan dari keluarga istri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. an Nisa: 35)

Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj’i) tidak langsung memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa ‘iddah. Masa ‘iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang berantakan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.

m.    Dalam menghadapi  prahara rumah tangga dibutuhkan kesabaran dari kedua belah pihak. Sabar artinya; tabah hati tanpa mengeluh, dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Orang bisa sabar, jika ingat tujuan. Masing-masing suami dan istri harus selalu mengingat tujuan mereka membangun rumah tangga, tujuan mendidik anak sampai jadi, dan tujuan hidup itu sendiri. Meski demikian, sabar ada batasnya jika sekiranya ketabahan dan kesabaran yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu sedikitpun  tidak membawa perbaikan, sebaliknya semakin terpuruk dalam kesulitan, maka agama memberi peluang untuk mencari jalan keluar yang terbaik, meski dalam bentuk perceraian. Perceraian yang terjadi setelah melampaui babak kesabaran pada umumnya membawa kebaikan kedua belah pihak. Kesabaran dituntut terutama ketika awal mula mendapat gempuran prahara (as sobru ‘inda as sodmat al ‘ula). Jika pada gempuran pertama dapat bersabar, maka biasanya dalam melampaui tahap-tahap berikutnya prahara itu menjadi lebih ringan, dan solusinya terkendali.

Azas Konseling Perkawinan
Dengan memperhatikan kasus yang sedang dialami oleh masing-masing pasangan,   dan dengan berpedoman kepada ajaran Islam tentang kehidupan perkawinan, maka konseling diberikan dengan azas-azas sebagai berikut:
1.    Prinsip kebahagian seperti yang terkandung dalam ungkapan My house is my castle atau baiti jannati, haruslah mengacu pada konsep kebahgiaan seperti yang diajarkan oleh al Qur’an, yaitu falah, fauz dan sa’adah, yakni kebahagiaan dunia akhirat, kebahagiaan yang diridhai Allah, bukan kebahagiaan palsu.
2.    Bahwa rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah) itu berdiri atas sendi kasih sayang, atau mawaddah wa rahmah.
3.    Bahwa suami istri itu harus berkomunikasi atau musyawarah, menyangkut urusan mereka.
4.    Bahwa rumah tangga itu ibarat kapal yang harus di nakhodai dengan hati-hati dan sabar.
5.    Dalam perselisihan keluarga, kedua belah pihak harus mengutamakan kemaslahatan dari pada kemenangan.
Selengkapnya...

Tips Menanggulangi KDRT Menurut Islam



Kaum lelaki dengan ringan akan menganiaya istrinya
Semua itu dianggap sesuatu yang wajar belaka
Apalagi jika perempuan berani membangkang
Berani melakukan nusyuz
Ganjarannya adalah hinaan, pukulan, tamparan, bahkan pembunuhan.
Ingat ! Islam mengutuk semua itu.

Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa. Demikian itulah potret KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Peristiwa suami menempeleng istri tentulah bukan berita yang mengejutkan bagi masyarakat. Sebab, sudah terlalu sering terjadi. Bahkan, penyiksaan secara berlebihan dengan membakar sampai membunuh istrinya sendiri merupakan potret buram rumah tangga hari ini.

KDRT bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban KDRT adalah istri. Sudah barang tentu pelakunya adalah suami â??tercintaâ?.

Rumah Tangga bukan tempat (ajang) melampiaskan emosional suami terhadap istri. Tetapi, rumah adalah tempat yang aman. Tempat dimana kehangatan selalu bersemi. Di dalamnya terdapat psangan suami-istri yang saling mencintai.

Andaiâ?¦
Sepotong surga dapat digapai
Dan disematkan di setiap rumah manusia
Maka baiti jannati (rumahku sorgaku) bukanlah sekedar kata mutiara
Namun sebuah kawasan dimana seluruh warganya teduh dalam bahagia

Rumah tangga (keluarga) adalah pondasi sebuah negara. Dari keluargalah akan tercipta kader-kader bangsa. Manakala keluarga itu rusak maka berbahaya terhadap eksistensi negara. Maka dengan demikian, KDRT yang merupakan salah satu faktor rusaknya keluarga merupakan penyakit bersama bukan pribadi. Sebab, bahayanya meliputi seluruh anggota masyarakat. Untuk itu, semua pihak berkewajiban untuk membantu dalam menanggulangi KDRT.

Tips Menanggulangi KDRT Menurut Islam

Ada banyak langkah yang harus segera kita lakukan. Dua belah pihak (suami dan istri) harus bersama-sama berusaha untuk menjauhkan diri terlibat dengan KDRT. Walaupun, aktor penting dalam masalah ini adalah suami, akan tetapi istri juga berpeluang menciptakan KDRT. Langkah-langkah untuk menanggulangi KDRT, antara lain adalah:

Pertama, landasan keimanan. Makanya, antara suami dan istri harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Insya Allah, manakala suami sholeh dan istrisholehah akan jauh dari KDRT.

Sebagai contoh, lagi ada masalah dengan suami/istri. Tetapi karena suami/istri rajin shalat apalagi dengan berjamaah maka masalah akan mereda setelah shalat. Arif dan bijaksana dalam bersikap akan hadir bagi suami/istri yang dekat dengan Allah. Rumah tangga Rasulullah SAW menjadi contoh bagi kita.

Sebagai refleksi (renungan): Rasulullah pernah punya masalah dengan para istrinya (ummahatul muâ??minin). Sehingga wajah Rasul kelihatan muram. Ini sebuah pertanda bahwa hatinya sedang galau. Kegalauan yang disebabkan oleh guncangan yang melanda bahtera rumah tangganya. Para ummahatul muâ??minin menuntut tambahan nafkah. Nafkah yang selama ini diberikan Rasulullah dirasakan kurang mencukupi kebutuhan mereka. Rasul sungguh bersedih.

Sebab ia tidak bisa memenuhi tuntutan mereka. Ia bukanlah orang yang berlebih apalagi kaya raya. Bagaimanakah sikap Rasul? Sebagai seorang suami yang matang dan bijaksana, Rasul membawa pergi kerisauannya keluar rumah. Tujuannya adalah masjid.

Di masjid beliau mencoba merenungkan kejadian demi kejadian. Di masjid beliau mencoba meneduhkan jiwa dengan tafakur. Di masjid beliau mencoba mengoreksi diri, melihat kedalaman kalbu. Di masjid beliau memohon petunjuk kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar terbaik dari persoalan rumitnya. (Secara lengkap bisa dibaca dalam: Ibnu Saâ??ad, Purnama Madinah, hlm. 172)

Kedua, reinterpretasi penafsiran terhadap â??legalitas pemukulanâ?. Tindak kekerasan yang berbentuk penganiayaan terhadap istri dianggap sudah merupakan hal yang biasa. Ironisnya, tafsir agama seringkali dipakai sebagai unsur pembenaran.

Sebagai contoh, suatu siang di Yogyakarta seorang perempuan datang ke Rifka annisaâ?? (sebuah lembaga pelayanan perempuan). Tubuhnya lunglai, di beberapa bagian tampak lembam dan membiru. Rupanya dia dipukul suaminya. Dengan mata yang nanar dia bertanya kepada seorang konselor: â??Bu, apakah ajaran Islam memperbolehkan suami memukul istri?â?.

Dengan suara berat ia menambahkan: â??Suami saya selalu memukul saya sambil ndalil (membacakan ayat Al-Qurâ??an 4:34). Bu, benarkah! Suaranya menghilang digantikan dengan tangis yang tertahanâ?. (Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi KDRT, hlm. 16). Surat An-Nisaâ??:34 ini memang seringkali dijadikan sebagai senjata/legalitas suami memukul istrinya. Wadhribuhunna (dan pukullah mereka) diarikan secara kaku. Padahal tidak demikian adanya. Kata dharaba mempunyai banyak arti: mendidik, mencangkul, memelihara, bahkan menurut Ar-Raghib Al-Isfahani secara metaforis bermakna melakukan hubungan seksual.

Kalaupun mau kita maknakan dengan memukul, bukan dalam artian penyiksaan atau penganiayaan. Tetapi, memukul dalam bingkai pendidikan atau pengajaran. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai legalitas untuk melakukan penyiksaan terhadap istri lewat pemukulan dan sebagainya sangat tidak dibenarkan dan salah.

Ketiga, menyadari akan akibat buruk dari KDRT. Ada beberapa akibat buruk :

1. suami bisa dituntut ke Pengadilan karena penyerangan terhadap istri merupakan tindakan melanggar KUHP.
2. Rumah Tangga menjadi berantakan (Broken Home).
3. Mengakibatkan gangguan mental (kejiwaan) terhadap istri dan juga anak. Keempat, melanggar syariâ??at agama. Agama mengajarkan untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan keluarga yang dihiasi dengan pemukulan dan penganiayaan.

Keempat, khusus bagi para suami berlaku lemah lembutlah kepada istri sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Umar Ibn Khattab pernah berkata kepada Rasulullah: â??Ya Rasul! maukah engkau mendengarkan aku? Kami kaum Quraisy biasa menguasai para istri kami. Kemudian kami pindah ke suatu masyarakat (Madinah) di mana laki-laki dikuasai oleh istri mereka. Kemudian kaum perempuan kami meniru perlakuan mereka.

Suatu hari aku memarahi istriku dan ia membalasnya. Aku tidak menyukai perlakuan seperti itu. Dan ia berkata: apakah engkau tak menyukai aku membalasmu?

Demi Allah, para istri Rasul membalas beliau. Sebagian mereka mendiamkan beliau sepanjang hari sampai malam. Umar lalu berkata: Ia celaka dan merugi. Apakah ia merasa aman dari kemurkaan Allah karena kemarahan Rasul-Nya sehingga ia mendapat hukuman?.� Nabi tersenyum. Senyum selalu dikembangkan oleh Rasul. Ini pertanda pribadi yang lemah lembut.

Kelima, khusus kepada para istri. Berusahalah untuk menjadi istri sholehah. Berhias diri untuk suami, melayani suami dengan baik, mematuhi perintah yang baik dari suami, menjaga harga diri dan suami, dan lain sebagainya. Berusahalah untuk selalu membuat suami tersenyum bahagia walaupun pahit rasanya.

Insya Allah, kekerasan di balik jeruji Rumah Tangga jauh dari keluarga kita. Cinta yang menghiasi kehidupan suami/istri harus senantiasa dipupuk hingga membuahkan kelanggengan. Cinta kita adalah karena Allah SWT. Jadi, suami/istri dalam sebuah keluarga adalah hamba-Nya yang selalu dekat kepada-Nya. Manakala ini sudah terbangun dalam mahligai rumah tangga, insya Allah tidak akan ada KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Wallahu aâ??lamu.

Oleh Diah Widya Ningrum, S.Pd.I Ketika adat dan tradisi kekerasan telah melembaga dalam masyaraka
Selengkapnya...

Senin, 21 Februari 2011

Kriteria Pasangan Hidup Menurut Islam


Hmmm,.. ada beberapa yang request catatan bertemakan ini,.. Okelah saya kabulkan,.. tapi copy paste aja yah,.. soalnya belum punya pengalaman heheh... Semoga bermanfaat dan kita sama-sama belajar ^_^


Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.

Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.

Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?

A. Kriteria Memilih Calon Istri

Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :

1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)



Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.



Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)

Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)

Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :

“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)

Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.

Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :

a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.

b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.

3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :

Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”


4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.

Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.


Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.


Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.


B. Kriteria Memilih Calon Suami

1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)



2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)

Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)

Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :

“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”

Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Selengkapnya...